SISTEM
BIKAMERAL DI INDONESIA
Sistem kamar (unikameral, bikameral, dan
trikameral) dalam lembaga perwakilan rakyat efektifitasnya ditentukan oleh
perimbangan kewenangan antar-kamar dalam pelaksanaan fungsi parlemen seperti
fungsi legislasi, anggaran, kontrol, representasi, dan rekrutmen politik. Dari
fungsi tersebut, perimbangan dalam fungsi legislasi menjadi faktor utama. Dalam
sistem dua kamar (bikameral), dengan perimbangan itu, dimaksudkan untuk
melaksanakan mekanisme checks and balances antar-kamar di lembaga
perwakilan rakyat.
Dengan adanya dua majelis akan dapat menjamin semua
produk legislatif dan tindakan pengawasan diperiksa dua kali (double
check). Keunggulan sistem double check ini semakin terasa jika
Majelis Tinggi yang memeriksa dan merevisi suatu rancangan undang-undang
memiliki keanggotaan yang komposisinya berbeda dari Majelis Rendah (Asshiddiqie,
1996). Sistem bikameral bukan hanya merujuk adanya dua dewan dalam suatu
negara, tetapi dilihat pula dari proses pembuatan undang-undang yang melalui
dua dewan atau kamar, yaitu melalui Majelis Tinggi dan Majelis Rendah (Mulyosudarmo,
2004).
Di Indonesia, hubungan antar-kamar tidak mungkin
menciptakan bikameral yang efektif. Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, DPR
memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan pengawasa. Karena fungsi
tersebut tidak diberikan kepada DPD, Pasal 20A Ayat (1) memunculkan
superioritas fungsi legislasi DPR terhadap DPD. Kehadiran Pasal 20A Ayat (1)
memberi garis demarkasi yang sangat tegas bahwa kekuasaan membuat undang-undang
hanya menjadi monopoli DPR. Padahal, dalam sistem bikameral, jia tidak diberi
hak mengajukan RUU, Majelis Tinggi berhak untuk mengubah, mempertimbangkan,
atau menolak RUU dari Majelis rendah. Sekiranya hak itu juga tidak ada, Majelis
Tinggi diberi hak menunda pengesahan UU yang disetujui Majelis Rendah. Hak
menunda pengesahan sering menjadi satu-satunya kekuatan jika Majelis Tinggi
jika tidak mempunyai hak mengubah dan menolak rancangan undang-undang (Evans,
2002).
Mencermati ketentuan dalam UUD 1945, wewenang DPD
terbatas dan sempit, karena DPD hanya untuk memberi pertimbangan. Seolah-olah
DPD hanya berposisi sebagai Dewan Pertimbangan DPR dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Secara eksplisit, UUD 1945 telah memangkas penggunaan fungsi legislasi
DPD. Pasal 20 Ayat (1) dan 20A Ayat (1) menentukan, kekuasaan membuat
undang-undang (legislasi) hanya dimiliki oleh DPR.
Begitu juga ketentuan yang sama dijabarkan lebih
lanjut dalam undang-undang turunannya, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU No 22/2003). Karenanya
harus diakui perubahan UUD 1945 amat membatasi kewenangan DPD, begitu juga
dalam UU No 22/2003. Baik dalam Pasal 22D Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945 maupun
Pasal 42 dan 43 UU No 22/2003 menunjukkan betapa terbatasnya wewenang DPD. DPD
hanya ikut membahas RUU tertentu yang berkaitan dengan otonomi daerah dan dapat
memberi pertimbangan kepada DPR saat DPR melaksanakan kewenangannya. Dari
ketentuan tersebut jelas terlihat bahwa sistem bikameral yang dituangkan dalam
UUD 1945 hasil amandemen tidak sesuai dengan prinsip bikameral yang umum dalam
teoriteori ketatanegaraan, yaitu fungsi parlemen yang dijalankan oleh dua kamar
secara berimbang (balance) dalam proses legislasi maupun pengawasan.
Dengan demikian, DPD
berfungsi sebagai “ko-pembahas” yang dalam hal ini tentulah dimaksud “ikut
membahas” rancangan undang-undang dalam sidang DPR di mana rancangan yang
bersangkutan dibahas bersama oleh DPR dan Presiden. Artinya, dalam pelaksanaan
fungsi legislasi, DPD tidak bisa kepada tahap persetujuan rancangan
undang-undang. Disamping itu, dalam bidang legislasi, DPD juga berfungsi
sebagai pemberi pertimbangan atas perancangan dan pembahasan RUU di
bidang-bidang tertentu; dan di bidang pengawasan, yaitu mengawasi pelaksanaan
UU di bidang-bidang yang terkait dengan kepentingan daerah.
Berdasarkan penjelesan di atas, guna membangun
prinsip checks and balances dalam lembaga perwakilan rakyat Indonesia
harus ada perubahan radikal terhadap fungsi legislasi yaitu dengan tidak lagi
membatasi DPD seperti saat ini. Kalau ini dilakukan, gagasan menciptakan kamar
kedua di lembaga perwakilan rakyat guna mengakomodasi kepentingan daerah dalam
menciptakan keadilan distribusi kekuasaan menjadi dapat diwujudkan. Bagaimanapun,
dengan pola legislasi sekarang, DPD tidak mungkin mampu mengartikulasikan
kepentingan politik daerah pada setiap proses pembuatan keputusan di tingkat
nasional terutama dalam membuat undang-undang yang berkaitan langsung dengan
kepentingan daerah.
Selain fungsi legislasi, sistem bikameral yang
efektif juga dibangun dalam fungsi anggaran. Terkait dengan hal ini, hampir
semua negara memberikan kewenangan kepada the second chamber untuk melakukan
perubahan dan penundaan dalam waktu terbatas terhadap rancangan undang-undang
keuangan negara dan yang terkait dengan keuangan negara. Misalnya di Puerto
Rico, all bills for raising revenue shall originate in the House of
Representatives, but the Senate may propose or concur with amendments as on
other bills. Sementara di Inggris, House of Lord diberikan wewenang
melakukan perubahan atas rancangan undang-undang keuangan negara dan tidak
dapat melakukan penundaan lebih satu bulan (the House of Lords cannot delay
a money bill for more than one month).
Tidak demikian dengan Indonesia. Pasal 22D Ayat (2)
UUD 1945 menyatakan, …memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan
undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara. Sama dengan fungsi
legislasi, dalam fungsi anggaran DPD juga mempunyai fungsi anggaran yang sangat
terbatas yaitu terbatas pada memberikan pertimbangan kepada DPR dalam proses
pembahasan rancangan undang-undang APBN. Padahal, pertimbangan hanyalah bagian
kecil saja penggunaan hak dalam fungsi anggaran. Semestinya, DPD diberi
kewenangan untuk mengusulkan, mempertimbangkan, mengubah, dan menetapkan
anggaran seperti DPR. Menurut Kevin Evans (2002), dalam sistem bikameral, jika
mengubah dan menetapkan tidak dimiliki oleh the second chamber, maka
kepadanya seharusnya diberi hak menunda persetujuan rancangan APBN.
Sebetulnya, berkaca pada
praktik sejumlah negara, ketimpangan fungsi legislasi antar-kamar dalam lembaga
perwakilan bukan sesuatu yang baru. Namun, ketimpangan itu selalu diupayakan
dengan memberikan ”kompensasi” kepada kamar lain yang lebih lemah. Dalam model
lembaga perwakilan rakyat bikameral, jika tidak berhak mengajukan rancangan
undang-undang, Majelis Tinggi diberi hak konstitusional untuk mengubah,
mempertimbangkan, atau menolak rancangan undang-undang yang berasal dari
Majelis Rendah. Sekiranya hak itu juga tidak ada, Majelis Tinggi diberi hak
menunda pengesahan undang-undang yang disetujui Majelis Rendah. Menurut Kevin
Evans (2002), jika konstitusi tidak memberi hak untuk mengubah dan menolak
rancangan undang-undang, menunda pengesahan sering menjadi satu-satunya
kekuatan Majelis Tinggi dalam fungsi legislasi. Sebagai bagian dari mekanisme checks
and balances dalam fungsi legislasi, penundaan tersebut dimaksudkan untuk
memberikan kesempatan bagi Majelis Tinggi untuk mengoreksi rancangan
undang-undang yang telah disetujui Majelis Rendah.
Berdasarkan penjelesan
itu, DPD yang dihasilkan dalam perubahan UUD 1945 tidak memberikan wewenang
kepada DPD untuk mengubah dan menolak rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Tidak hanya itu, DPD pun tidak diberi
wewenang untuk menunda pengesahan rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama oleh DPR dan Presiden. Satu-satunya kesempatan DPD untuk terlibat lebih
intensif dalam pembahasan rancangan undang-undang yaitu dengan adanya frasa
“ikut membahas” yang terdapat dalam Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945. Dibandingkan
dengan wewenang DPR dan Presiden, frasa “ikut membahas” menunjukkan bahwa DPD
merupakan pelengkap dalam fungsi legislasi. Dengan frasa “ikut membahas”
tersebut, peran DPD dalam fungsi legislasi untuk rancangan undang-undang
tertentu lebih tepat disebut sebagai ko-pembahas karena pembahas utama tetap
dilakukan oleh DPR dan Presiden.
Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 22D UUD
1945, frasa “ikut membahas” masih memungkinkan bagi DPD untuk berperan lebih
maksimal dalam fungsi legislasi. Namun kemungkin itu menjadi tertutup karena
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD
dan DPRD (UU No. 22/2003) makin membatasi peran DPD dalam fungsi legislasi.
Sama halnya dengan fungsi legislasi dan fungsi
pengawasan, dalam fungsi pengawasan pun DPD mempunyai kewenangan yang sangat
terbatas. Pasal 22D Ayat (3) UUD 1945 menyatakan, DPD dapat melakukan
pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: (a) otonomi daerah, (b)
hubungan pusat dan daerah, (c) pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, (d) pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, (e)
pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, (f) pajak, (g) pendidikan,
dan (h) agama. Kemudian, hasil itu disampaikan kepada DPR sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dari ketentuan itu, fungsi pengawasan DPD
seolah-olah menjadi sub-ordinat (fungsi pengawasan) DPR. Oleh karenanya, untuk
membangun bikameral yang efektif, fungsi pengawasan DPD menjadi sebuah
keniscayaan.
Dalam hal fungsi representasi, Pasal 22C Ayat (1)
UUD 1945 anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.
Kemudian, dalam Pasal 22C Ayat (2) ditegaskan lagi, anggota DPD dari setiap
provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari
sepertiga jumlah anggota DPR. Dari ketentuan itu, tidak bisa dinafikan bahwa
DPD merupakan representasi daerah. Karena DPR lebih merupakan representasi partai
politik, representasi daerah relatif lebih tepat untuk mengimbangi partai
politik di lembaga perwakilan rakyat. Meskipun demikian, idealnya dikembangkan
juga upaya untuk memikirkan bahwa DPD tidak hanya menjadi representasi daerah
tetapi juga mampu merepsentasikan kelompok-kelompok marjinal dan minoritas.
Sekalipun DPD merupakan representasi daerah, dalam
fungsi rekrutmen atau pengisian jabatan publik DPR jauh lebih superior.
Misalnya, peran DPR begitu besar dalam pengangkatan Hakim Agung serta pengangkatan
dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial. Di samping itu, beberapa agenda
kenegaraan juga mensyaratkan “pertimbangan” DPR, seperti: pengangkatan Duta dan
menerima penempatan duta negara lain. Fungsi rekrutmen jabatan publik DPR
bertambah besar dengan adanya kewenangan untuk mengisi beberapa jabatan
strategis kenegaraan, seperti (1) memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan,
menentukan tiga dari sembilan orang hakim Mahkamah Konstitusi, dan (3) menjadi
institusi yang paling menentukan dalam proses pengisian state auxiliary
bodies lainnya seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan
Umum. Tidak hanya itu, masih ada keharusan untuk meminta pertimbangan DPR dalam
pengisian jabatan Panglima TNI, Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri) dan lain-lain.
Dengan gambaran tersebut, dalam hal fungsi
rekrutmen jabatan publik, DPD tidak kalah memprihatinkan jika dibandingkan
dengan fungsi legislasi, fungsi kontrol, dan fungsi anggaran di atas. Oleh
karenanya, DPD seharusnya dilibatkan dalam proses rekrutmen jabatan publik.
Pelibatan itu menjadi sebuah keniscayaan karena rekrutmen jabatan publik yang
hanya dilakukan oleh DPR amat mungkin bias kepentingan politik partai politik.
Artinya, jika DPD diberi ruang yang cukup dalam proses rekrutmen jabatan publik,
kepentingan politik partai di DPR bisa diimbangi oleh DPD.
Barangkali, ada banyak langkah yang diperlukan
untuk membangun sistem bikameral yang efektif. Namun, semua itu sulit dilakukan
tanpa memulai dengan perubahan radikal atas UUD 1945. Sistem bikameral yang
efektif hanya mungkin dilakukan dengan melakukan penataan ulang terhadap fungsi
legislasi secara total. Dengan demikian, berarti sistem bikameral yang efektif
tidak cukup hanya dengan mengubah Pasal 22D UUD 1945. Kalau hanya terbatas pada
Pasal 22D UUD 1945 saja, maka perubahan potensial menimbulkan
keganjilan-keganjilan dalam pelaksanaan fungsi legislasi.
0 komentar:
Posting Komentar