KONSTITUSIONAL
KOMPLAIN TERHADAP
PENCEKALAN
AJARAN AHMADIYAH
PENDAHULUAN
Memiliki kepercayaan terhadap suatu agama merupakan Hak Asasi setiap
manusia, Negara-negara di dunia memberikan kebebasan terhadap warga negaranya
untuk beragama, demikian pula dengan Negara Indonesia, Indonesia memberikan
kebebasan terhadap warga negaranya untuk memeluk agama menurut kepercayaan
masing-masing setiap warga negaranya. Kebebasan memeluk agama ini di tuangkan
dalam Undang-undang Dasar tahun 1945 pasal 28E ayat (1) yang berbunyi :
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meinggalkanya serta berhak
kembali.
Selain pasal 28E ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 tigegaskan pula
dalam pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi :
1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaanya itu.
Perlindungan Warga Negara
untuk memeluk agama sangat jelas pengaturanya, bahkan dalam pasal 22
Undang-undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur lagi mengenai
hal tersebut, pasal 22 Undang-undang No 39 tahun 1999 menyebutkan bahwa warga
negara bebas memeluk agama serta bebas untuk beribadat menurut kepercayaanya
tersebut, bahkan dala pasal tersebut juga menyebutkan bahwa negara menjamin
kemerdekaan setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadat menurut
kepercayaanya masing-masing.
Dari pasal 29 ayat (1) dapat
diketahui bahwa Negara Indonesia merupakan Negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
dengan demikian Warga Negara Indonesia harus memiliki kepercayaan terhadap
Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kata lain Warga Negara di haruskan memiliki
Agama. Hal tersebut telah tersirat dalam pasal 29 ayat (1), namun sayangnya hal
tersebut tidak dijelaskan secara tegas dengan pasal lain yang menyebutkan
larangan terhadap kepercayaan Atheis atau kepercayaan untuk tidak memeluk agama
apapun. Hal ini membuat celah dalam pengaturan memeluk agama Warga Negara
Indonesia, dengan tidak adanya pengaturan yang jelas mengenai kepercayaan
Atheis membuat seseorang dapat menafsirkan bahwa Atheis diperbolehkan di Negara
Indonesia.
Yang
disayangkan lagi dalam Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
yang merupakan peraturan pelaksana terhadap pengaturan mengenai Hak Asasi
Manusia dalam Undang-undang Dasar 1945, juga hanya menjelaskan tentang
kebebasan memeluk agama saja, tanpa mengatur serta menjelaskan mengenai
larangan terhadap kepercayaan Atheis atau kepercayaan untuk tidak memeluk agama
apapun. Hal ini semakin
membuat adanya persepsi bahwa Atheis diperbolehkan di Negara Indonesia.
Selain
permasalahan Atheis, muncul juga permasalahan lagi mengenai kebebasan memeluk
agama. Hal yang sering terjadi adalah munculnya agama-agama serta
kepercayaan-kepercayaan baru di negara Indonesia, kepercayaan-kepercayaan
tersebut sering dicekal oleh pemerintah dengan alasan bahwa kepercayaan
tersebut merupakan kepercayaan atau ajaran yang sesat. Apabila ditela’ah dan
dicerna secara matang pencekalan tersebut merupakan pelanggaran atas Hak Asasi
Manusia. Hal ini dikarenakan dalam Undang-undang Dasar 1945 telah diatur mengenai
Hak Warga negara untuk memeluk agama serta kepercayaan masing-masing, hal ini
dipertegas dengan adanya pengaturan dalam pasal 22 Undang-undang No 39 tahun
1999 yang menjelaskan bahwa warga negara bebas memeluk agama dan beribadat
menurut kepercayaanya masing-masing, dan negara menjamin kebebasan tersebut,
sedangkan pencekalan terhadap suatu kepercayaan baru merupakan hal yang
melanggar ketentuan yang tertuang dalam pasal 22 Undang-undang No 39 tahun
1999. Dengan demikian sangat jelas bahwa pencekalan terhadap suatu ajaran atau
suatu agama di Indonseia merupakan suatu pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia. Namun hal tersebut kurang disadarai oleh masyarakat, terutama oleh
penganut ajaran yang dicekal tersebut.
Banyak
kasus terhadap pencekalan terhadap ajaran suatu kpercayaan, hal yang pernah
terjadi adalah munculnya ajaran islam yang menunaikan ibadah Sholat dengan doa
bahasa indonesia, selain hal itu banyak kasus-kasus yang tidak terekspose oleh
media masa. Kasus pencekalan yang cukup membuat gempar adalah kasus pencekalan
terhadap ajaran agama Ahmadiyah, Ahmadiyah ini dianggap merupakan agama yang
memberikan ajaran yang sesat, hal ini dikarenakan Ahmadiyah mengajarkan hal-hal
yang bertentangan dengan ajaran yang diajarkan oleh agama Islam, ahmadiyah
dianggap telah melecehkan dan menodai ajaran agama Islam, hal inilah yang
menjadi pangkal permsalahan pencekalan terhadap Ahmadiyah, beberapa saat lalu
sempat muncul rancangan Perpu larangan ajaran Ahmadiyah, namun rancangan Perpu
tersebut tidak dapat disahkan karena bertentangan dengan Hak Asasi Manusia
untuk memeluk agama.
Permasalahan
Agama merupakan permaslahan yang sangat sensitif, hal ini membuat Pemerintah
tidak dapat mengeluarkan peraturan khusus mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan Agama, hal inilah yang menjadikan pemerintah menjadi seperti Harimau
yang tidak memiliki taring dalam menangani kasus Ahmadiyah.
RUMUSAN MASALAH
Apakah
Konstitusinal Komplain dapat diajukan terhadap pencekalan terhadap Ajaran
Ahmadiyah jika dikaitkan dengan kebebasan beragama di Indonesia?
PEMBAHASAN
Seiring
dengan bertambahnya permasalahan bangsa kebutuhan akan perkembangan sistem
ketatanegaraan Indonesia
makin bertambah pula. Hal ini dapat dilihat dari berkembangnya kasus yang
berhubungan dengan hak hak dasar dari warga negara yang terus dipermasalahkan
tanpa ada suatu mekanisme yang tepat untuk menyelesaikannya. Kebutuhan akan
adanya suatu mekanisme Constitutional Complaint makin nyata setelah
terjadinya suatu kasus yang berhubungan dengan Hak-hak Dasar warga negara-dan
bisa dikatagorikan Hak Asasi Manusia-dalam menjalankan suatu agama dan
keyakinan. Kasus Ahmadiyah baru-baru ini menyeruak kembali dan berbagai
elemen masyarakat bisa mengkajinya
dari berbagai segi. Namun jika dilihat dari perkembangan sistem ketatanegaraan,
kasus ini patut dijadikan rujukan.
Adapun
kasus Ahmadiyah sebenarnya sudah ada sejak lama. Keberadaan Ahmadiyah di
Indonesia telah dimulai sejak zaman kolonial Hindia Belanda. Ahmadiyah
Indonesia telah pula mendapat status badan
hukum yang disahkan Kementerian Kehakiman pada tahun 1950. Namun aktivitas
gerakan ini sampai sekarang meresahkan bagian terbesar Umat Islam di Indonesia.
khususnya tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad serta ajaran-ajarannya. Dalam
beberapa bulan terakhir ini isyu Ahmadiyah kembali mencuat dan tindak kekerasan
terjadi di berbagai tempat. Dalam konteks inilah, wacana keluarnya Surat
Keputusan Bersama muncul ke permukaan.
Setelah
muncul Surat Keputusan Bersama (SKB) yang merupakan tindak lanjut dari
Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU
Kejaksaan), masalah Ahmadiyah makin meruncing. Ditambah dengan terjadinya
bentrok antara Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
(AKKBB) dengan Front Pembela Islam (FPI). Membuat Kasus Ahmadiyah sepantasnya
untuk cepat diselesaikan, tentunya dengan hukum yang berlaku. Namun, munculnya
Surat Keputusan Bersama (SKB) Tentang Ahmadiyah yang memuat rincian mengenai:
1.Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak
menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum melakukan
penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan
keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menimpang dari
pokok-pokok ajaran agama itu;
2.Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota
dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama
Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang
dari pokok-pokok ajaran agama Islam, yaitu penyebaran paham yang mengakui
adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad S.a.w;
3.Penganut, anggota, dan/atau pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI) yang tidak mengindahkan peringatan atau perintah sebagaimana dimaksud pada
diktum 1 dan diktum 2 dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya.
Banyak
pihak pro dan kontra dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama ini. Pihak yang
pro terutama Forum Umat Islam (FUI) merupakan organisasi yang memperjuangkan
agar SKB segera diterbitkan. Sementara pembubaran Ahmadiyah dikatakan tidak
bertentangan dengan konstitusi dan justru hak tersebut dijamin oleh konstitusi..228 Sedangkan Pihak yang kontra FUI, beda Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Kuasa hukum Ahmadiyah, Asfinawati. Direktur
LBH Jakarta ini mendalilkan Pasal 29 UUD 1945 yang menjamin warga negara untuk
memeluk dan beribadah menurut kepercayaan dan agamanya, justru akan melanggar
konstitusi jika Surat Keputusan Bersama ini di keluarkan. Silang pendapat kedua
belah pihak ini direncanakan akan di bawa ke Mahkamah Konstitusi. Kedua belah
pihak merasa tindakan mereka di cekal oleh kelompok lawan masing-masing yang
keduanya berdalih atas dasar konstitusi. Dan berniat untuk membawa kasus ini ke
Mahkamah Konstitusi. Namun jika dikaji lebih lanjut, terbitnya Surat Keputusan
Bersama (SKB) ini jika ingin dipertentangkan merupakan kewenangan Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN) sepanjang SKB ini materinya merupakan suatu Keputusan
yang bersifat kongkrit, individual, final dan bukan Pengaturan yang bersifat
abstrak, umum, dan terus menerus. Kalaupun SKB tersebut merupakan suatu
Pengaturan, maka sebaiknya gugatan atas SKB di layangkan ke Mahkamah Agung.
Yang jadi
salah satu permasalahan selain kaburnya mekanisme yang tepat untuk menguji SKB
ini, adalah Peraturan Perundang-Undangan Pembanding untuk melakukan Judicial
Review ke Mahkamah Agung. Tetapi jika SKB itupun merupakan suatu pengaturan,
SKB itu sendiri bukan sebuah Peraturan yang dikatagorikan oleh Tata Urutan
Peraturan Perundang-Undangan oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 2004.
Namun jika
ditelaah bahwa kedudukan SKB setara dengan Peraturan Menteri.
Di dalam ketentuan Pasal 7 ayat (4) yang mengatur
peraturan menteri secara implisit.
Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004
1) Jenis dan Hierarki
Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut:
a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c.
Peraturan Pemerintah;
d.
Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
2)
Peraturan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan
perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur.
b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh dewan
perwakilan rakyat daerah kabupaten kota
bersama bupati/walikota.
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat
oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau
nama lainnya.
3) Ketentuan mengenai tata
cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yangsetingkat diatur oleh peraturan
daerah Kabupaten/kota yang bersangkutan.
4) Jenis Peraturan
Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya
dan mempunyai kekuatan hokum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
5) Kekuatan hukum Peraturan
Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
Jika
dilihat dari ketentuan pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, maka Surat
Keputusan Bersama bisa diajukan ke Mahkamah Agung melalui judicial review.
Namun Undang-Undang yang dapat dijadikan batu uji mungkin jatuh kepada
Undang-Undang No. 1/PnPs/1965 dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Agung. Karena kedua Undang-Undang ini justru mengamanatkan Jaksa Agung untuk
membuat prduk hukum seperti Surat Keputusan Bersama. Bisa mungkin Undang-Undang
No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menjadi alternatif batu uji.
Namun hal
yang sangat krusial di sini adalah menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung, Surat
Keputusan Bersama itu adalah kebijakan (beleid) Pemerintah, yang
dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak dapat diadili. Seperti pendapatnya Yusril
Ihza Mahendra dalam situsnya http://yusril.ihzamahendra.com yaitu:
“SKB yang sudah diterbitkan oleh tiga pejabat negara
itu, nampaknya akan terus menuai kontroversi. Pro dan kontra masih akan terus
berlanjut. Pemerintah sendiri seperti telah saya singgung di atas
mempersilahkan mereka yang menolak SKB untuk memperkarakannya di Mahkamah
Konstitusi. Sepanjang pemahaman saya tentang tugas dan kewenangan Mahkamah
Konstitusi, lembaga itu bukanlah mahkamah yang dapat mengadili sebuah SKB yang
diterbitkan oleh pejabat tinggi negara, sepanjang ia tidak menimbulkan sengketa
kewenangan. SKB itu bukan pula obyek sengketa tata usaha negara yang dapat
dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara, karena sifatnya bukanlah putusan
pejabat tata usaha negara yang bersifat individual, kongkrit dan final. Kalau
mau dibawa ke Mahkamah Agung, boleh saja untuk menguji apakah SKB itu kalau
isinya bercorak pengaturan bertentangan atau tidak dengan undang-undang (yakni
UU Nomor 1/PNPS/1965). Saya sendiri berpendapat, walaupun isi SKB itu tidak
memuaskan, namun SKB itu adalah kebijakan (beleid) Pemerintah, yang oleh yurisprudensi Mahkamah Agung,
dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak dapat diadili”
Sehubungan
dengan pembahasan diatas, pengujian melalui Mahkamah Agung dan Peradilan Tata
Usaha Negara mempunyai kajian yang berbeda. Sedikit banyak masalah
Ahmadiyah234pasti bersinggungan dengan hak asasi manusia dan hak-hak dasar
warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaannya masingmasing sesuai dengan
konstitusi. Jadi Mekanisme yang tepat memang Constitutional Complaint
di Mahkamah Konstitusi. Sehingga pengkajian mengenai legal-formal maupun
substansi isi ketentuan Surat Keputusan Bersama atas konstitusi mengenai kebebasan
menjalankan agama dan kepercayaan bisa ditafsirkan dan menjadi sebuah Putusan
Hukum.
Dengan
adanya kasus Surat Keputusan Bersama (SKB) Ahmadiyah ini, gagasan mekanisme Constitutional
Complaint sedikit banyak telah disinggung untuk diadakan. Meskipun di
beberapa negara kewenangan ini sangat berat dan seperti di Jerman mengharuskan
gugatan melalui semua mekanisme peradilan biasa terlebih dahulu.
Jika
dilihat dari kebutuhan adanya kewenangan Constitutional Complaint di Mahkamah
Konstitusi,maka kebutuhan itu bisa dilihat dari Pembentukan Kewenangan Mahkamah
Konstitusi Pasal 24 C ayat (1)pada saat Risalah Sidang majelis Permusyawaratan
Rakyat.
Bila
dilihat dari latar belakang pembentukan kewenangan Mahkamah Konstitusi, maka
pembahasan sidang mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi lebih fokus ke masalah
pemakzulan (impeachment). Sedikit sekali yang menyinggung fungsi
Mahkamah konstitusi sebagai the guard of constitution atas hak-hak dasar
warga negara236 Senada dengan hal tersebut, Firmansyah Arifin mengemukakan
pembentukan Mahkamah Konstitusi berdasarkan kebutuhan pragmatis yang dilatar
belakangi oleh kasus Mantan Presiden Abdul Rahman Wahid yang bisa di-impeach
begitu mudah. Karenanya Majelis Permusyawaratan Rakyat menginginkan suatu
mekanisme impeachment yang jelas.
Soal
perubahan Undang-Undang Dasar, Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa tidak mudah
memberikan kewenangan Constitutional Complaint kepada Mahkamah Konstitusi
karena banyak tahap yang perlu dilalui. Diantaranya adalah amandemen Undang-Undang
Dasar 1945 karena kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya terbatas pada lima
kewenangan pasal 24C ayat (1) dan (2). Yaitu:
1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap Undang-undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik,dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Norma pasal 24C ayat ini bersifat
tertutup, dan berarti tidak ada penambahan
mekanisme yang lain. Lain halnya dengan norma terbuka dari Pasal 24A
1)
Mahkamah Agung berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang, dan mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan oleh
Undang-Undang.
Norma terbuka ini menurut Jimly akan
memungkinkan untuk menambah kewenangan tanpa harus melakukan amandemen
Undang-Undang Dasar 1945. Jika Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan dengan
norma terbuka seperti ini maka penambahan kewenangan cukup dengan melakukan
perubahan pada pasal 10 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tanpa perlu mengubah
Undang-Undang Dasar 1945.
Selain
itu juga hal yang patut dipertimbangkan jika constitutional complaint menjadi
kewenangan Mahkamah Konstitusi maka pemohon sebaiknya telah menempuh
semua upaya hukum terlebih dahulu seperti di Jerman. Sehingga tidak akan
terjadi adanya dualisme hukum seperti pengadilan umum dan pengadilan tindak pidana
korupsi. Kemungkinan mekanisme constitutional complaint berhubungan langsung
dengan Pengadilan Hak Asasi Manusia.
KESIMPULAN
Pencekalan
terhadap ajaran Ahmadiyah pada dasarnya merupakan pelanggaran terhadap Hak
asasi Manusia untuk memeluk Agama dan Kepercayaan masing-masing Individu, namun
pencekalan tersbut tidak mutlak pelanggaran Hak Asasi Manusia hal ini
dikarenakan ajaran Ahmadiyah dianggap telah menistakan Agama Islam, sehingga
Ajaran Ahmadiyah tersebut meresahkan sebagian besar warga Indonesia yang merasa
Ajaran Ahmadiyah telah melecehkan Agama ISLAM.
Yang
menjadi Inti permsalahan pencekalan Ahmadiyah adalah penggunaan Embel-embel
Agama ISLAM dalam ajaran Ahmadiyah, apabila tidak menyangkut mengenai Agama
ISLAM dan agama-agama lain, maka ajaran Ahamdiyah tersebut tidak mungkin dicekal
seperti pada saat ini.
Konstitusional
komplain terhadap pencekalan Ajaran Ahmadiyah ini sebenarnya dapat dilakukan
dengan dasar pelanggaran Hak Asasi Manusia dimana di Indonesia telah diatur dan
bahkan Negara menjamin warga negaranya untuk memeluk agama menurut kepercayaan
masing-masing individu, namun Konstitusioanal koplain ini mungkin hanya menjadi
suatu wacana saja mengingat bahwa ajaran ahmadiyah ini dianggap telah
melecehkan Agama Islam, bahkan tidak di Indonesia saja, namun di berbagai
negara Ajaran Ahmadiyah ini telah mendapat pencekalan.
0 komentar:
Posting Komentar