NILAI-NILAI KONSTITUSI
NILAI-NILAI
KONSTITUSI DAN PENERAPANNYA DALAM UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Konstitusi
adalah hukum tertinggi suatu Negara. Sebab tanpa konstitusi negara tidak
mungkin terbentuk. Dengan demikian konstitusi menempati posisi yang sangat vital
dalam kehidupan ketatanegaraan suatu Negara. Dengan kata lain, konstitusi
membuat suatu peraturan pokok mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan
Negara.
Menurut Prof. Pujosewodjo, S.H.,
Undang-Undang Dasar sebagai suatu bentuk konstitusi tertulis adalah induk dari
segala perundang-undangan dalam negara yang bersangkutan, yang memberikan
landasan hukum untuk pembuatan segala peraturan dan berlakunya
peraturan-peraturan itu.
UUD 45 sebagai bentuk konstitusi
tertulis di Indonesia memiliki sistematika yang terdiri dari :
a. Pembukaan
b. Batang Tubuh
c. Penjelasan
Kedudukan dan Hub Pembukaan UUD
45 Dengan Batang Tubuh UUD 45 yaitu
Pembukaan UUD 45 mempunyai kedudukan Lebih tinggi dibanding Batang tubuh, alasannya Dalam Pembukaan terdapat :
Pembukaan UUD 45 mempunyai kedudukan Lebih tinggi dibanding Batang tubuh, alasannya Dalam Pembukaan terdapat :
a.
dasar negara (Pancasila)
b.
Fungsi dan tujuan bangsa Indonesia
c.
Bentuk negara Indonesia (republik)
Pembukaan tidak bisa diubah,
mengubah sama saja membubarkan negara, sedangkan BT bisa
diubah(diamandeman). Dalam sistem tata hukum RI, Pembukaan UUD 45 memenuhi
kedudukan sebagai pokok kaidah negara yang fundamental, alasan:
a.
dibuat oleh pendiri negara (PPKI)
b.
pernyataan lahirnya sebagai bangsa yang mandiri
c.
memuat asas rohani (Pancasila), asas politik negara (republik berkedaulatan
rakyat), dan tujuan negara (jadi negara adil makmur)
d.
memuat ketentuan yang menetapkan adanya suatu UUD.
Undang-Undang Dasar ini pun
telah mengalami 4 kali amandemen yaitu :
- Amandemen I (14-21 Okt 1999)
- Amandemen II ( 7-8 Agust 2000)
- Amandemen III (1-9 Nov 2001)
- Amandemen IV (1-11 Agust 2002)
Mirriam Budiardjo memiliki
pendapat bahwa Isi Konstitusi itu sendiri memuat tentang:
a. Organisasi Negara
b. HAM
c. Prosedur penyelesaian masalah
pelanggaran hukum
d. Cara perubahan konstitusi dan
larangan mengubah konstitusi
Adapun yang menjadi Tujuan
dibuat atau dibentukya suatu konstitusi yaitu :
- Untuk mengatur organisasi negara dan lembaga-lembaga pemerintahan
- Untuk membatasi dan mengontrol tindakan pemerintahan agar tidak
berlaku
sewenang-wenang, atau dengan kata lain konstitusi itu dibuat untuk membatasi perilaku pemerintahan secara efektif - Membagi kekuasaan dalam berbagai lembaga Negara
- Menentukan lembaga Negara yang satu bekerjasama dengan lembaga lainnya
- Menentukan hubungan diantara lembaga Negara
- Menentukan pembagian hukum dalam Negara
Konstitusi di Indonesia
dijadikan sebagai alat untuk melaksanakan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila. Dilihat dari sejauh mana tanggapan masyarakat terhadap konstitusi
yang dibuat oleh Negara maka ada tiga nilai yang dapat dikemukakan disini,
yaitu:
1. Nilai Normatif
Suatu konstitusi yang telah
resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi tersebut bukan
hanya berlaku dalam arti hukum, akan tetapi juga merupakan suatu kenyataan yang
hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif. Dengan kata lain,
konstitusi itu dilaksanakn secara murni dan konsekuen.
2. Nilai Nominal
Konstitusi yang mempunyai nilai
nominal berarti secara hukum konstitusi itu berlaku, tetapi kenyataannya kurang
sempurna, sebab pasal-pasal tertentu dari konstitusi tersebut dalam
kenyataannya tidak berlaku.
3. Nilai Semantik
Suatu konstitusi mempunyai nilai
semantik jika konstitusi tersebut secara hukum tetap berlaku, namun dalam
kenyataannya adalah sekedar untuk memberikan bentuk dari temapat yang telah
ada, dan dipergunakan untuk melaksanakan kekuasaan politik. Jadi, konstitusi
hanyalah sekedar istilah saja sedangkan pelaksanaannya hanya dimaksudkan untuk
kepentingan pihak penguasa.
PENERAPAN NILAI-NILAI KONSTITUSI
DALAM UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Menurut Karl
Lowenstein setiap konstitusi selalu terdapat dua aspek penting, yaitu sifat
idealnya sebagai teori (das sollen)dan sifat nyatanya sebagai praktik
(das sein). Suatu konstitusi yang mengikat itu bila dipahami, diakui,
diterima, dan dipatuhi oleh masyarakat bukan hanya berlaku dalam arti hukum,
akan tetapi juga merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam arti sepenuhnya
diperlukan dan efektif, maka konstitusi tersebut dinamakan konstitusi yang
mempunyai nilai normatif. Namun bila suatu konstitusi sebagian atau seluruh
materi muatannya, dalam kenyataannya tidak dipakai atau pemakaiannya kurang
sempurna dalam kenyataan. Dan tidak dipergunakan sebagai rujukan atau pedoman
dalam pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara,
maka dapat dikatakan konstitusi tersebut bernilai nominal.
Salahsatu
contoh penerapan nilai normatif dalam undang-undang dasar 1945 terdapat dalam
pasal 7B. Pasal 7B mengatur mengenai pemberhatian presiden dan/atau wakil
presiden yang dapat diajukan oleh dewan perwakilan rakyat kepada majelis
permusyawaratan rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan
kepada mahkamah konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat
dewan perwakilan rakyat bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa
presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau
wakil presiden.
Berbicara
konstitusi Indonesia tidak terlepas dari konstitusi tertulisnya yakni,
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. UUD 1945 sebelum amandemen memiliki
kecenderungan bersifat konstitusi yang bernilai semantik. Contohnya UUD 1945
pada zaman Orde baru dan Orde lama pada waktu itu berlaku secara hukum, tetapi
dalam praktiknya keberlakuan itu semata-mata hanya untuk kepentingan penguasa
saja dengan dalih untuk melaksanakan Undang-Undang dasar 1945. Kenyataan itu
dapat kita lihat dalam masa Orde Lama ikut campur penguasa dalam hal ini
esekutif (Presiden) dalam bidang peradilan, yang sebenarnya dalam pasal
24 dan 25 Undang-Undang dasar 1945 harus bebas dan tidak memihak, hal tersebut
dapat terlihat dengan adanya Undang-undang No. 19 tahun 1965.
Pada masa
Orde Baru konstitusi pun menjadi arena pelanggengan kekuasaan hal tersebut
terlihat dengan rigidnya sifat konstitusi yang “sengaja” dibuat dengan membuat
peraturan atau prosedur perubahan demikian sulit, padahal Undang-Undang Dasar
pada saat itu dibentuk dengan tujuan sebagai Undang-Undang Dasar sementara,
mengingat kondisi negara yang pada waktu itu telah memproklamirkan kemerdekaan
maka diperlukanlah suatu Undang-Undang dasar sebagai dasar hukum tertinggi.
Namun dikarenakan konstitusi tersebut masih dimungkinkan untuk melanggengakan
kekuasaan, maka konstitusi tersebut dipertahankan. Maka timbulah adigium
negatif “Konstitusi akan dipertahankan sepanjang dapat melanggengkan
kekuasaan”.
Pasca
perubahan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-4, memberikan nilai lain pada
konstitusi kita. Dalam beberapa pasal konstitusi kita memiliki nilai nominal,
namun untuk beberapa pasal memiliki nilai normatif. Misal pada pasal 28 A-J UUD
1945 tentang Hak Asasi manusia, namun pada kenyataan masih banyak pelanggaran
atas pemenuhan hak asasi tersebut, katakanlah dalam pasal 28B ayat (2), yang
berbunyi “Setiap orang berhak atas kekeluargaan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (penebalan
tulisan oleh penulis). Walaupun dalam ayat tersebut terdapat hak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi namun kenyataannya masih banyak
diskriminasi-diskriminasi penduduk pribumi keturunan. Terlebih pada era orde
baru. Kemudian pasal 29 ayat (2), yang berbunyi “ Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Perkataan Negara menjamin
kemerdekaan menjadi sia-sia kalau agama yang diakui di
Indonesia hanya 5 dan 1 kepercayaan. Hal tersebut menjadi delematis dan tidak
konsekuen, bila memang kenyataan demikian, mengapa tidak dituliskan secara
eksplisit dalam ayat tersebut. Hal lain adalah dalam pasal 31 ayat (2), yang
berbunyi “ Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya” Kata-kata wajib membiayainya seharusnya
pemerintah membiayai seluruh pendidikan dasar tanpa terdikotomi dengan apakah
sekolah tersebut swasta atau negeri, karena kata wajib disana tidak merujuk
pada sekolah dasar negeri saja, seperti yang dilaksanakan pemerintah tahun ini,
tetapi seluruh sekolah dasar. Pasal selanjutnya adalah pasal 33 ayat (3), yang
berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Kata dipergunakan
dalam ayat tersebut tampaknya masih jauh dari kenyataan, betapa tidak banyak
eskploitasi sumber daya alam bangsa ini yang dikuras habis oleh perusahaan
asing yang sebagian besar keuntungannya di bawa pulang ke negara asal mereka.
Kondisi demikian masih jauh dari tujuan pasal tersebut yakni kemakmuran rakyat
bukan kemakmuran investor. Selanjutnya pasal 34 ayat (1), yang berbunyi “ fakir
miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Kata dipelihara
disini bukan berarti fakir miskin dan anak-anak terlantar dibiarkan “berpesta
ngemis” atau bergelandang tanpa dicari solusi dan menjamin jaminan sosial
dimana sesuai dengan tujuan awal, yakni kesemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Kesimpulan dari pemaparan diatas
tampaknya UUD kita mempunyai nilai nominal. Sebab walaupun secara hukum
konstitusi ini berlaku dan mengikat peraturan dibawahnya, akan tetapi dalam
kenyataan tidak semua pasal dalam konstitusi berlaku secara menyeluruh, yang
hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif dan dijalankan secara murni
dan konsekuen.
0 komentar:
Posting Komentar