Selasa, 16 April 2013

NILAI-NILAI KONSTITUSI


NILAI-NILAI KONSTITUSI

NILAI-NILAI KONSTITUSI DAN PENERAPANNYA DALAM UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Konstitusi adalah hukum tertinggi suatu Negara. Sebab tanpa konstitusi negara tidak mungkin terbentuk. Dengan demikian konstitusi menempati posisi yang sangat vital dalam kehidupan ketatanegaraan suatu Negara. Dengan kata lain, konstitusi membuat suatu peraturan pokok mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan Negara.
Menurut Prof. Pujosewodjo, S.H., Undang-Undang Dasar sebagai suatu bentuk konstitusi tertulis adalah induk dari segala perundang-undangan dalam negara yang bersangkutan, yang memberikan landasan hukum untuk pembuatan segala peraturan dan berlakunya peraturan-peraturan itu.
UUD 45 sebagai bentuk konstitusi tertulis di Indonesia memiliki sistematika yang terdiri dari :
a. Pembukaan
b. Batang Tubuh
c. Penjelasan
Kedudukan dan Hub Pembukaan UUD 45 Dengan Batang Tubuh UUD 45 yaitu
Pembukaan UUD 45 mempunyai kedudukan Lebih tinggi dibanding Batang tubuh, alasannya  Dalam Pembukaan terdapat :
a.       dasar negara (Pancasila)
b.      Fungsi dan tujuan bangsa Indonesia
c.       Bentuk negara Indonesia (republik)
Pembukaan tidak bisa diubah, mengubah sama saja membubarkan negara, sedangkan BT  bisa diubah(diamandeman). Dalam sistem tata hukum RI, Pembukaan UUD 45 memenuhi kedudukan sebagai pokok  kaidah negara yang fundamental, alasan:
a.       dibuat oleh pendiri negara (PPKI)
b.      pernyataan lahirnya sebagai bangsa yang mandiri
c.        memuat asas rohani (Pancasila), asas politik negara (republik berkedaulatan  rakyat), dan tujuan negara (jadi negara adil makmur)
d.      memuat ketentuan yang menetapkan adanya suatu UUD.
Undang-Undang Dasar ini pun telah mengalami 4 kali amandemen yaitu :
  • Amandemen I (14-21 Okt 1999)
  • Amandemen II ( 7-8 Agust 2000)
  • Amandemen III (1-9 Nov 2001)
  • Amandemen IV (1-11 Agust 2002)
Mirriam Budiardjo memiliki pendapat bahwa Isi Konstitusi itu sendiri memuat tentang:
a. Organisasi Negara
b. HAM
c. Prosedur penyelesaian masalah pelanggaran hukum
d. Cara perubahan konstitusi dan larangan mengubah konstitusi

Adapun yang menjadi Tujuan dibuat atau dibentukya suatu konstitusi yaitu :
  • Untuk mengatur organisasi negara dan lembaga-lembaga pemerintahan
  • Untuk membatasi dan mengontrol tindakan pemerintahan agar tidak berlaku
    sewenang-wenang, atau dengan kata lain konstitusi itu dibuat untuk membatasi perilaku pemerintahan secara efektif
  • Membagi kekuasaan dalam berbagai lembaga Negara
  • Menentukan lembaga Negara yang satu bekerjasama dengan lembaga lainnya
  • Menentukan hubungan diantara lembaga Negara
  • Menentukan pembagian hukum dalam Negara

Konstitusi di Indonesia dijadikan sebagai alat untuk melaksanakan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dilihat dari sejauh mana tanggapan masyarakat terhadap konstitusi yang dibuat oleh Negara maka ada tiga nilai yang dapat dikemukakan disini, yaitu:
1. Nilai Normatif
Suatu konstitusi yang telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi tersebut bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akan tetapi juga merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif. Dengan kata lain, konstitusi itu dilaksanakn secara murni dan konsekuen.
2. Nilai Nominal
Konstitusi yang mempunyai nilai nominal berarti secara hukum konstitusi itu berlaku, tetapi kenyataannya kurang sempurna, sebab pasal-pasal tertentu dari konstitusi tersebut dalam kenyataannya tidak berlaku.
3. Nilai Semantik
Suatu konstitusi mempunyai nilai semantik jika konstitusi tersebut secara hukum tetap berlaku, namun dalam kenyataannya adalah sekedar untuk memberikan bentuk dari temapat yang telah ada, dan dipergunakan untuk melaksanakan kekuasaan politik. Jadi, konstitusi hanyalah sekedar istilah saja sedangkan pelaksanaannya hanya dimaksudkan untuk kepentingan pihak penguasa.

PENERAPAN NILAI-NILAI KONSTITUSI DALAM UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Menurut Karl Lowenstein setiap konstitusi selalu terdapat dua aspek penting, yaitu sifat idealnya sebagai teori (das sollen)dan sifat nyatanya sebagai praktik (das sein). Suatu konstitusi yang mengikat itu bila dipahami, diakui, diterima, dan dipatuhi oleh masyarakat bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akan tetapi juga merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif, maka konstitusi tersebut dinamakan konstitusi yang mempunyai nilai normatif. Namun bila suatu konstitusi sebagian atau seluruh materi muatannya, dalam kenyataannya tidak dipakai atau pemakaiannya kurang sempurna dalam kenyataan. Dan tidak dipergunakan sebagai rujukan atau pedoman dalam pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara,  maka dapat dikatakan konstitusi tersebut bernilai nominal.
Salahsatu contoh penerapan nilai normatif dalam undang-undang dasar 1945 terdapat dalam pasal 7B. Pasal 7B mengatur mengenai pemberhatian presiden dan/atau wakil presiden yang dapat diajukan oleh dewan perwakilan rakyat kepada majelis permusyawaratan rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada mahkamah konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat dewan perwakilan rakyat bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Berbicara konstitusi Indonesia tidak terlepas dari konstitusi tertulisnya yakni, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. UUD 1945 sebelum amandemen memiliki kecenderungan bersifat konstitusi yang bernilai semantik. Contohnya UUD 1945 pada zaman Orde baru dan Orde lama pada waktu itu berlaku secara hukum, tetapi dalam praktiknya keberlakuan itu semata-mata hanya untuk kepentingan penguasa saja dengan dalih untuk melaksanakan Undang-Undang dasar 1945. Kenyataan itu dapat kita lihat dalam masa Orde Lama ikut campur penguasa dalam hal ini esekutif (Presiden)  dalam bidang peradilan, yang sebenarnya dalam pasal 24 dan 25 Undang-Undang dasar 1945 harus bebas dan tidak memihak, hal tersebut dapat terlihat dengan adanya Undang-undang No. 19 tahun 1965.
Pada masa Orde Baru konstitusi pun menjadi arena pelanggengan kekuasaan hal tersebut terlihat dengan rigidnya sifat konstitusi yang “sengaja” dibuat dengan membuat peraturan atau prosedur perubahan demikian sulit, padahal Undang-Undang Dasar pada saat itu dibentuk dengan tujuan sebagai Undang-Undang Dasar sementara, mengingat kondisi negara yang pada waktu itu telah memproklamirkan kemerdekaan maka diperlukanlah suatu Undang-Undang dasar sebagai dasar hukum tertinggi. Namun dikarenakan konstitusi tersebut masih dimungkinkan untuk melanggengakan kekuasaan, maka konstitusi tersebut dipertahankan. Maka timbulah adigium negatif “Konstitusi akan dipertahankan sepanjang dapat melanggengkan kekuasaan”.
Pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-4, memberikan nilai lain pada konstitusi kita. Dalam beberapa pasal konstitusi kita memiliki nilai nominal, namun untuk beberapa pasal memiliki nilai normatif. Misal pada pasal 28 A-J UUD 1945 tentang Hak Asasi manusia, namun pada kenyataan masih banyak pelanggaran atas pemenuhan hak asasi tersebut, katakanlah dalam pasal 28B ayat (2), yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kekeluargaan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (penebalan tulisan oleh penulis). Walaupun dalam ayat tersebut terdapat hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi namun kenyataannya masih banyak diskriminasi-diskriminasi penduduk pribumi keturunan. Terlebih pada era orde baru. Kemudian pasal 29 ayat (2), yang berbunyi “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Perkataan Negara menjamin kemerdekaan menjadi sia-sia kalau agama yang diakui di Indonesia hanya 5 dan 1 kepercayaan. Hal tersebut menjadi delematis dan tidak konsekuen, bila memang kenyataan demikian, mengapa tidak dituliskan secara eksplisit dalam ayat tersebut. Hal lain adalah dalam pasal 31 ayat (2), yang berbunyi “ Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya” Kata-kata wajib membiayainya seharusnya pemerintah membiayai seluruh pendidikan dasar tanpa terdikotomi dengan apakah sekolah tersebut swasta atau negeri, karena kata wajib disana tidak merujuk pada sekolah dasar negeri saja, seperti yang dilaksanakan pemerintah tahun ini, tetapi seluruh sekolah dasar. Pasal selanjutnya adalah pasal 33 ayat (3), yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Kata dipergunakan dalam ayat tersebut tampaknya masih jauh dari kenyataan, betapa tidak banyak eskploitasi sumber daya alam bangsa ini yang dikuras habis oleh perusahaan asing yang sebagian besar keuntungannya di bawa pulang ke negara asal mereka. Kondisi demikian masih jauh dari tujuan pasal tersebut yakni kemakmuran rakyat bukan kemakmuran investor. Selanjutnya pasal 34 ayat (1), yang berbunyi “ fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Kata dipelihara disini bukan berarti fakir miskin dan anak-anak terlantar dibiarkan “berpesta ngemis” atau bergelandang tanpa dicari solusi dan menjamin jaminan sosial dimana sesuai dengan tujuan awal, yakni kesemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Kesimpulan dari pemaparan diatas tampaknya UUD kita mempunyai nilai nominal. Sebab walaupun secara hukum konstitusi ini berlaku dan mengikat peraturan dibawahnya, akan tetapi dalam kenyataan tidak semua pasal dalam konstitusi berlaku secara menyeluruh, yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif dan dijalankan secara murni dan konsekuen.



0 komentar:

Posting Komentar