POLITIK HUKUM
Politik merupakan proses
pembentukan dan pembagian kekuasaan
dalam masyarakat yang antara lain
berwujud proses pembuatan keputusan,
khususnya dalam negara.
Menurut R. Soeroso, SH Definisi
hukum secara umum yaitu himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang
dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta
mempunyai sifat memaksa dengan
menjatuhkan sanksi hukuman bagi
yang melanggarnya.
Sedangkan Politik hukum adalah aspek-aspek
politis yang melatar-belakangi proses pembentukan hukum dan kebijakan suatu
bidang tertentu, sekaligus juga akan sangat mempengaruhi kinerja
lembaga-lembaga pemerintahan yang terkait dalam bidang tersebut dalam
mengaplikasikan ketentuan-ketentuan produk hukum dan kebijakan, dan juga dalam
menentukan kebijakan-kebijakan lembaga-lembaga tersebut dalam tataran praktis
dan operasional. Sedemikian pentingnya peranan politik hukum ini, sehingga ia
dapat menentukan keberpihakan suatu produk hukum dan kebijakan.
Hukum dan politik merupakan subsistem dalam sistem
kemasyarakatan. Masing-masing melaksanakan fungsi tertentu untuk menggerakkan
sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Secara garis besar hukum berfungsi
melakukan social control, dispute settlement dan social engeneering atau
inovation.sedangkan fungsi politik meliputi pemeliharaan sistem dan adaptasi
(socialization dan recruitment), konversi (rule making, rule aplication, rule
adjudication, interestarticulation dan aggregation) dan fungsi kapabilitas
(regulatif extractif, distributif dan responsif).
Virgina Held (etika Moral, 1989 106-123) secara panjang
lebar membicarakan sistem hukum dan sistem politik dilihat dari sudut pandang
etika dan moral. Ia melihat perbedaan diantara keduanya dari dasar
pembenarannya. "Dasar pembenaran deontologis pada khususnya merupakan ciri
dan layak bagi sistem hukum, sedangkan dasar pembenaran teleogis pada khususnya
ciri dan layak bagi sistem politik. Argumentasi deontologis menilai suatu tindakan
atas sifat hakekat dari tindakan yang bersangkutan, sedangkan argumentasi
teleogis menilai suatu tindakan atas dasar konsekuensi tindakan tersebut.
Apakah mendatangkan kebahagiaan atau menimbulkan penderitaan. Benar salahnya tindakan
ditentukan oleh konsekuensi yang ditimbulkannya, tanpa memandang sifat hakekat
yang semestinya ada pada tindakan itu.
Sistem hukum, kata Held lebih lanjut memikul tanggung jawab
utama untuk menjamin dihormatinya hak dan dipenuhinya kewajiban yang timbul
karena hak yang bersangkutan. Dan sasaran utama sistem politik ialah memuaskan
kepentingan kolektif dan perorangan. Meskipun sistem hukum dan sistem politik
dapat dibedakan, namun dalan bebagai hal sering bertumpang tindih. Dalam proses
pembentukan Undang-undang oleh badan pembentuk Undang-undang misalnya. Proses
tersebut dapat dimasukkan ke dalam sistem hukum dan juga ke dalam sistem
politik, karena Undang-undang sebagai output merupakan formulasi yuridis dari
kebijaksanaan politik dan proses pembentukannya sendiri digerakkan oleh proses
politik.
Hukum dan politik sebagai subsistem kemasyarakatan adalah
bersifat terbuka, karena itu keduanya saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
subsistem lainnya maupun oleh sistem kemasyarakatan secara keseluruhan.
Walaupun hukum dan politik mempunyai fungsi dan dasar pembenaran yang berbeda,
namun keduanya tidak saling bertentangan. Tetapi saling melengkapi.
Masing-masing memberikan kontribusi sesuai dengan fungsinya untuk menggerakkan
sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Dalam masyarakat yang terbuka dan
relatif stabil sistem hukum dan politiknya selalu dijaga keseimbangannya, di
samping sistem-sitem lainnya yang ada dalam suatu masyarakat.
Hukum memberikan kompetensi untuk para pemegang kekuasaan
politik berupa jabatan-jabatan dan wewenang sah untuk melakukan
tindakan-tindakan politik bilamana perlu dengan menggunakan sarana pemaksa.
Hukum merupakan pedoman yang mapan bagi kekuasan politik untuk mengambil
keputusan dan tindakan-tindakan sebagai kerangka untuk rekayasa sosial secara
tertib. Prof. Max Radin menyatakan bahwa hukum adalah teknik untuk mengemudikan
suatu mekanisme sosial yang ruwet. Dilain pihak hokum tidak efektif kecuali
bila mendapatkan pengakuan dan diberi sanksi oleh kekuasaan politik. Karena itu
Maurice Duverger (Sosiologi Politik 1981:358) menyatakan: "hukum didefinisikan
oleh kekuasaan; dia terdiri dari tubuh undang-undang dan prosedur yang dibuat
atau diakui oleh kekuasaan politik.
Hukum memberikan dasar legalitas bagi kekuasaan politik dan kekuasaan politik membuat hukum menjadi efektif. Atau dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan yang diam dan politik adalah hukum yang in action dan kehadirannya dirasakan lebih nyata serta berpengaruh dalam kehidupan kemasyarakatan.
Hukum memberikan dasar legalitas bagi kekuasaan politik dan kekuasaan politik membuat hukum menjadi efektif. Atau dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan yang diam dan politik adalah hukum yang in action dan kehadirannya dirasakan lebih nyata serta berpengaruh dalam kehidupan kemasyarakatan.
Hukum dan politik mempunyai kedudukan yang sejajar. Hukum
tidak dapat ditafsirkan sebagai bagian dari sistem politik. Demikian juga
sebaliknya. Realitas hubungan hukum dan politik tidak sepenuhnya ditentukan
oleh prinsp-prinsip yang diatur dalam suatu sistem konstitusi, tetapi lebih
dtentukan oleh komitmen rakyat dan elit politik untuk bersungguh-sungguh
melaksanakan konstitusi tersebut sesuai dengan semangat dan jiwanya. Sebab
suatu sistem konstitusi hanya mengasumsikan ditegakkannya prinsi-prinsip
tertentu, tetapi tidak bisa secara otomatis mewujudkan prinsi-prinsip tersebut.
Prinsip-prinsip obyektif dari sistem hukum (konstitusi) sering dicemari oleh
kepentingan-kepentingan subyektif penguasa politik untuk memperkokoh posisi
politiknya, sehingga prinsip-prinsip konstitusi jarang terwujud menjadi apa
yang seharusnya, bahkan sering dimanipulasi atau diselewengkan.
Penyelewengan prinsi-prinsip hukum terjadi karena politik
cenderung mengkonsentrasikan kekuasaan ditangannya dengan memonopoli alat-alat
kekuasaan demi tercapainya kepentingan-kepentingan politik tertentu. Di samping
itu seperti dicatat oleh Virginia Held (Etika Moral 1989; 144)
keputusan-keputusan politik dapat bersifat sepenuhnya ekstra legal, selama
orang-orang yang dipengaruhinya menerima sebagai berwenang. Jika keputusan
seorang pemimpin, betapapun sewenang wenang ataupun tidak berhubungan dengan
peraturan-peraturan tertentu, diterima oleh para pengikutnya, maka keputusan
itu mempunyai kekuatan politik yang sah. Dengan memonopoli penggunaan alat-alat
kekuasaan dan mengkondisikan penerimaan oleh masyarakat, maka politik mampu
menciptakan kekuasaan efektif tanpa memerlukan legalitas hukum.
Hukum tidak ditempatkan pada posisi sentral protes input
output sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Dalam perjalanan sejarah bangsa
Indonesia, kita mengalami hubungan hukum dengan politik yang tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip yang diamanatkan dalam UUD 1945. Pembukaan UUD 1945
dengan jelas mengamanatkan susunan negara RI yang berkedaulatan rakyat . Dan
penjelasan umum UUD 1945 mengenai sistem Pemerintahan Negara dengan gamblang
menentukan antara lain bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat)
tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat) serta pemerintahan berdasar
atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang
tidak terbatas).
Di masa Orde Lama prinsip-prinsip tersebut diselewengkan. Kedaulatan tidak berada di tangan rakyat, tetapi berpindah ke tangan "Pemimpin Besar Revolusi". Hukum disubordinasikan pada politik Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi dalam praktek menjadi pemerintahan berdasar Penetapan Presiden (Penpres) dan Peraturan Presiden (perpres). Hubungan hukum dan politik pada Orde Lama berjalan tidak seimbang. Hukum kehilangan wibawanya dan melorot peranannya menjadi pelayan kepentingan politik, karena waktu itu politik dinobatkan menjadi panglima. Orde Baru yang bangkit pada awal tahun 1966 melakukan koreksi terhadap berbagai penyelewengan yang terjadi pada masa Orde Lama dan bertekad mengembalikan tatanan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945.
Di masa Orde Lama prinsip-prinsip tersebut diselewengkan. Kedaulatan tidak berada di tangan rakyat, tetapi berpindah ke tangan "Pemimpin Besar Revolusi". Hukum disubordinasikan pada politik Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi dalam praktek menjadi pemerintahan berdasar Penetapan Presiden (Penpres) dan Peraturan Presiden (perpres). Hubungan hukum dan politik pada Orde Lama berjalan tidak seimbang. Hukum kehilangan wibawanya dan melorot peranannya menjadi pelayan kepentingan politik, karena waktu itu politik dinobatkan menjadi panglima. Orde Baru yang bangkit pada awal tahun 1966 melakukan koreksi terhadap berbagai penyelewengan yang terjadi pada masa Orde Lama dan bertekad mengembalikan tatanan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945.
Hasil-hasil selama ini tampak nyata khususnya dalam penataan
kembali kehidupan hukum dan politik sebagai pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Namun perlu dicatat pula bahwa dalam perjalanan
waktu tampaknya godaan pragmatisme pembangunan sulit dikendalikan, di mana
pencapaian sasaran-sasaran kuantitatif yang terukur dengan angka-angka
statistik menjadi ukuran keberhasilan. Artinya dasar pembenaran teleogis dari
politik yang mengedepan, tidak diimbangi oleh pembenaran deontologis dari
sistem hukum yang menekankan pada prinsip-prinsip yang seharusnya ditegakkan
berdasarkan konstitusi dan hukum. Di samping itu kekuasaan tak jarang
menampakkan wajahnya yang arogan dan tak terjangkau oleh kontrol hukum maupun
rakyat melalui lembaga perwakilan. Padahal salah satu esensi dari negara yang
berdasar atas hukum adalah bahwa kekuasaanpun mesti tunduk dan bertanggung
jawab untuk mematuhi hukum. Kekuasaan politik yang dijalankan dengan
menghormati hukum, merupakan yang dijalankan sesuai dengan kehendak rakyat yang
berdaulat. Carol C Gould (Demokrasi ditinjau Kembali 1993: 244) menyatakan:
"mematuhi hukum sebagai bagian dari kewajiban politik". Aturan hukum
dan juga kehidupan sosial yang berperaturan berfungsi sebagai salah satu
kondisi bagi kepelakuan. Hukum mencegah gangguan dan sekaligus menjaga
stabilitas dan koordinasi kegiatan masyarakat. Dengan demikian memungkinkan
tindakan orang lain dan membuat rencana masa depan.
Gejala mengutamakan pencapaian target dengan kurang
mengindahkan prinsip-prinsip yang mesti ditegakkan dan arogansi kekuasaan
apabila tidak segera diatasi merupakan kendala dalam merealisasikan komitmen
Orde Baru untuk menegakkan konstitusi, demokrasi dan hukum. Untuk menegakkan
konstitusi, demokrasi dan hukum tak cukup hanya dengan kemauan politik yang
selalu dijadikan retorika, yang lebih penting adalah melakukan upaya nyata
melaksanakan konstitusi, mengembangkan demokrasi dan membangun wibawa hukum
dalam praktek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal itu akan
menjadi realitas apabila sistem hukum dan politik berfungsi dengan baik menurut
kewenangan-kewenangan sah yang diatur dalam konstitusi. Sistem check and
balance akan terlaksana bila kekuasaan politik menghormati hukum dan dikontrol
oleh rakyat secara efektif melalui lembaga perwakilan rakyat. Untuk mewujudkan
lembaga hukum dan politik yang saling melengkapi memang diperlukan komitmen
yang kuat dan kesungguhan melaksanakan demokratisasi dan penegakkan wibawa
hukum. Semua itu bergantung kepada pemahaman dan tanggung jawab kita yang lebih
dalam untuk memfungsikan lembaga hukum dan politik sesuai dengan jiwa dan
semangat konstitusi, maupun dalam membangun budaya masyarakat yang kondusif
untuk menegakkan prinsip-prinsip tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar